Sabtu, 05 Februari 2011

Cerita Kado Buat Sang Oemar Bakri

Cerita Kado Buat Sang Oemar Bakri

Dua hari menjelang Hari Guru tanggal 25 November lalu, anak saya yang baru duduk di bangku kelas I SD meminta agar dibelikan ‘sesuatu barang’  untuk diberikan kepada guru kelasnya yang baru saja melahirkan anak pertama sebagai kado di Hari Guru.
Menurut pengakuan anak saya, mereka sekelas, bahkan seluruh murid dari kelas I sampai VI diminta salah seorang guru untuk menyampaikan pesan kepada orang tua masing-masing agar pada saat Hari Guru, ‘seikhlasnya’ memberikan ’kado’ berupa apa saja kepada guru-gurunya terutama guru kelasnya.
Bagi saya dan istri saya, permintaan guru tersebut tidaklah memberatkan dan tidak ada yang aneh. Menurut saya ‘permintaan’ yang lebih pas disebut sebagai ‘anjuran’ itu sah-sah saja. Mungkin itulah cara guru-guru di sekolah itu mendidik murid-muridnya agar menghargai dan mencintai guru-gurunya.
Istri saya yang kebetulan juga berprofesi guru, tanpa banyak tanya langsung mengiyakan permintaan si anak. Saya pun maklum saja karena mungkin dorongan empatinya yang tinggi terhadap sesama profesi guru meski beda sekolah.
Hari itu juga anak saya dibawa ke sebuah toko swalayan yang tak jauh dari rumah kemudian membelikan seperangkat perlengkapan popok bayi untuk nantinya diberikan kepada sang guru kelas anak saya sebagai  kado di Hari Guru. Tentu saja sebelum diberikan, kado itu dikemas rapi dengan kertas dan pita yang menarik.
Di hari yang sama, seorang ibu mengeluh karena anaknya yang duduk di bangku kelas V di SD yang berbeda dengan anak saya, terus ‘merengek’ minta dibuatkan ‘kue tar’. Katanya, kue tersebut akan diberikan kepada guru-gurunya pada saat Hari Guru sesuai ‘permintaan khusus’ guru kelasnya.
Padahal menurut ibu tersebut, sekitar tiga minggu lalu pihak sekolah telah mengutip uang sebesar Rp.15 ribu per murid dari kelas I sampai VI. Uang tersebut katanya untuk membeli bakal baju batik sebagai ‘hadiah’ dari murid yang akan dipakai seluruh guru di sekolah anaknya saat Hari Guru tiba.
Si ibu sebenarnya keberatan dengan pengutipan uang tersebut. Sebab menurutnya kebijakan pihak sekolah meminta ‘hadiah’ tapi kesannya ‘memaksa’ adalah sesuatu yang aneh dan sangat tidak bijak.
Sebagai orang tua murid, si ibu merasa adanya surat dari pimpinan sekolah yang disetujui dan ditandatangani Ketua Komite Sekolah, telah memaksanya untuk suka atau tidak suka, wajib memenuhi permintaan kutipan uang tersebut.
Hatinya sebenarnya berontak, tapi dia tak kuasa untuk menentang kebijakan sekolah yang menurutnya sepihak itu. Dia juga tak habis pikir, kenapa Komite Sekolah yang katanya perwakilan dari para orang tua murid, tidak punya empati terhadap sesama orang tua murid seperti dirinya.   
Nah, kemarin malam, istri saya dengan wajah sumringah menunjukkan sebuah tas plastik kresek hitam yang katanya berisi hadiah dari siswa-siswanya yang diterimanya hari itu sebagai kado di Hari Guru.
Tetapi saat seluruh isi tas plastik hitam tersebut dikeluarkan, saya langsung tertawa terpingkal-pingkal. Karena ternyata isinya macam-macam; ada sabun cuci, sabun mandi, odol, sikat gigi,   buku agama, pulpen, dan beberapa buah bross, dan dua helai jilbab.
Adapula beberapa mainan anak-anak. Tentu saja hadiah berupa mainan ini bukan untuk istri saya, tapi untuk anak saya laki-laki yang paling kecil. Anak laki-laki saya tersebut memang sesekali diajak istri saya ke sekolah bila jadwal mengajarnya tidak terlalu ketat atau saat ada kegiatan, tapi tak ada jadwal mengajar di sekolahnya.
Sebenarnya kado yang diterima istri saya di Hari Guru bukan baru pertama kali ini, tapi sejak dia menjadi guru beberapa tahun silam. Bukan cuma istri saya, semua guru di sekolahnya, bahkan barangkali di hampir semua sekolah mulai SD hingga SMU atau sederajat mendapat ‘kado’ dari anak-anak didiknya di Hari Guru.
Menurut istri saya, semua hadiah yang diterimanya hari itu bukan dia minta. Tapi sudah seperti ‘tradisi’ di sekolahnya setiap merayakan Hari Guru. Dan menurutnya, tidak semua anak didik di sekolahnya memberi hadiah kepada guru-gurunya, karena pihak sekolah pun tak pernah menganjurkan, apalagi mewajibkannya.
Bukan bermaksud mengecilkan, sebenarnya, bukan kado seperti itu yang diinginkan para  guru kita terlebih seperti istri saya yang berpenghasilan tak seberapa karena cuma guru sekolah swasta. Mereka  hanya mengharapkan ‘kado istimewa’ itu dari pemerintah berupa perhatian lebih untuk membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. Sehingga kelangsungan nasib mereka ke depan, meski tak harus menjadi seorang guru berstatus PNS, bisa lebih baik dan terjamin. “Pak Guru, Bu Guru…Selamat Hari Guru

0 komentar:

Posting Komentar