Selasa, 15 Februari 2011

CYBER PORNO

CYBER PORNO

Teknologi informasi menimbulkan tindak pidana berupa pornografi di internet (cyberporno).  Hampir 80 % gambar di internet adalah gambar porno.  Dengan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologi diperoleh hasil bahwa bagi hukum pidana .

Indonesia yang bersumberkan pada KUHP, persoalan cyberporn secara teoritis merupakan persoalan yang berkaitan dengan penafsiran dari Pasal 282 dan Pasal 283 yang harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. 


Persoalan praktis berkaitan dengan kemampuan aparat penegak hukum berupa kemampuan penguasaan materi hukum dan teknis komputer/ internet. Pencegahan dan penanggulangan cyberpon ini secara integral harus dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait, yaitu anggota masyarakat, pengakses, pemilik atau pengusaha warung internet dan aparat penegak hukum.

Perkembangan Internet yang pesat dimungkinkan karena adanya kemajuan yang dicapai dalam bidang teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer.  Kedua teknologi itu berkembang karena didorong oleh teknologi mikro elektronika, material dan perangkat lunak.  Kimia, fisika, biologi dan matematika mendasari ini semua .Perkembangan teknologi informasi membawa perubahan besar dan men-dasar pada tatanan sosial dan budaya dalam skala global.  Dengan menggunakan internet, pengguna dimanjakan untuk berkelana menembus batas kedaulatan suatu negara, batas budaya, agama, politik, ras, hirarki, birokrasi dan sebagainya.Ruang psikologis itu ternyata membuka peluang bagi para penjahat, tak terkecuali para penyaji dan para netter yang bertukar koleksi gambar atau tulisan yang bersifat porno.  

Tidaklah dipungkiri bahwa para pengguna internet saat ini kebanyakan adalah kaum muda, sehingga kehadiran cyberporn merupakan hiburan tersendiri, apalagi gambar-gambar yang disajikan adalah gambar orang-orang yang telah dikenal di masyarakat.Pornografi dapat merangsang timbulnya tindak pidana lain. Penayangan pornografi "pada saat yang tepat" dapat membangkitkan gairah seksual yang meningkat dan menuntut penyaluran segera, tetapi sering sulit dilaksanakan.  Apabila mekanisme sensor lemah, penyaluran dilaksanakan tanpa memikirkan resiko bagi dirinya maupun bagi orang lain.  Violent pornografi merupakan perangsang yang kuat bagi penerimanya, yang apabila dilaksanakan akan dapat mengakibatkan pelecehan seksual yang berdampak berat.

 Internet pada dasarnya diciptakan untuk kebaikan, seiring berjalannya waktu internet juga menjadi alat yang mempermudah kejahatan. Hukum pidana kita yang bersumber pada KUHP sebenarnya telah mengatur persoalan pornografi dalam Pasal 282 dan 283.Perbedaan jarak yang panjang dan landasan berfikir dari pembentuknya dengan keadaan yang berkembang pada saat ini menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penerapan KUHP terhadap persoalan cyberporn.  Penulis dalam hal ini hanya akan membatasi pada persoalan teoritis berupa peninjauan terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan pornografi dan perkembangannya melalui internet serta penafsiran terhadap isi pasal tersebut.

Untuk permasalahan yang berkaitan dengan hal di mana sebenarnya peraturannya sudah ada tetapi penafsirannya belum sampai pada atau tidak ditujukan kepada permasalahan yang muncul kemudian, maka persoalan sebenarnya terletak pada masalah penafsiran dari isi undang-undang itu.  Hal ini menjadi tugas ilmu pengetahuan hukum pidana untuk memberikan penafsiran di antara peraturan dan peristiwa konkrit yang terjadi di masyarakat.  Permasalahan ini muncul atau terjadi pada kasus cyberporn.
 
Berdasarkan pasal tersebut dan penafsiran mengenai makna pornografi dalam masyarakat, terjadi perubahan-perubahan yang menggeser makna kata tersebut. Pergeseran makna yang disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi seharusnya mengubah penafsiran terhadap unsur delik pornografi.  Jika menggunakan penafsira lama, maka layar komputer yang dimiliki oleh rental komputer, perkantoran maupun pribadi tidak dapat dikategorikan sebagai makna di muka umum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 282 KUHP.  Sebenarnya apa yang dikatakan sebagai di muka umum dalam hal ini harus ditafsirkan secara lebih luas dengan pendekatan teknologi informasi itu sendiri.

Gambar, tulisan ataupun cerita-cerita jorok yang telah ditulis atau dibuat oleh pembuatnya telah disebarluaskan dalam dunia informasi global yang bernama internet.  Dalam dunia maya di mana lalu lintas informasi bergerak dengan sangat cepat (information superhighway), gambar, tulisan dan cerita-cerita jorok terbang ke segala penjuru mencari pengakses yang ingin melihat atau membaca informasi tersebut.  Dalam hal ini gambar atau tulisan atau cerita jorok itu sebenarnya ada di sekitar kita dalam gelombang bit-bit yang tidak terlihat oleh mata, sepertinya jauh tetapi sebenarnya dekat.

Sebenarnya apa yang terlihat atau terpampang di layar monitor teleh memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam delik pornografi, tetapi peraturan hukum pidana kita tidak dapat menjangkau ke sana yang disebabkan karena penafsiran yang ada terhadap pasal tersebut masih terkungkung dengan makna lama tentang pornografi.  Persoalan ini merupakan persoalan yang muncul pada tahap teoritis yang berimplikasi pada tahap praktis di mana aparat penegak hukum belum atau tidak dapat bergerak jika tidak ada legitimasi dari para akademisi di samping kemampuan yang bersifat teknis dari teknologi informasi.

Melihat maraknya cyberporn ini maka pandangan hukum pidana yang daad-daderstrafrecht, yang berusaha melindungi masyarakat menjadi tidak bermakna karena nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dibiarkan rusak oleh perbuatan-perbuatan para pemilik situs porno.  Nilai-nilai religius, adat istiadat ketimuran yang memandang tabu hal-hal yang berkaitan dengan tubuh perempuan menjadi terlepas dari jari tangan masyarakat. 

0 komentar:

Posting Komentar