Sabtu, 12 Februari 2011

Guru Profesional dan Plagiarisme


Membaca kompas,  tentang judul di atas yang dituliskan oleh bapak Mochtar Buchori membuat hati saya serasa galau.
Sebagai seorang guru yang sudah lebih dari 15 tahun mengabdi di dunia pendidikan, saya merasakan benar kalau banyak teman-teman seprofesi yang belum memahami profesinya sebagai guru. Belum merasakan betapa mulianya menjadi seorang guru. Namun sangat disayangkan, bila kemuliaan itu menjadi hina karena banyak teman-teman guru yang tak segera meng-update ilmunya. Tak pernah puas dengan apa yang telah dikuasainya. Terus belajar sepanjang hayat.
Saya baca kembali tulisan pak Moctar Buchori yang sangat bagus itu,
Belajar dari guru yang terus membaca, rasanya seperti minum air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi membaca, seperti minum air comberan.
Buat saya, tulisan ini serasa menohok ke ulu hati. Membuat saya harus senantiasa membaca dan tidak dihujat sebagai guru yang meminum air comberan. Saya harus memberikan minuman segar kepada peserta didik saya dengan banyak membaca. Membaca hal-hal yang terus berkembang baik lewat buku, maupun media lainnya.
Buat saya secara pribadi, memegang amanah menjadi guru profesional serasa berat. Sebab guru dituntut untuk terus menerus melakukan kreasi dan inovasi dalam pembelajarannya. Membuat para peserta didik senang dengan apa yang dipelajarinya sehingga bermakna dalam kehidupan nyata.
Saya harus akui, telah terjadi kesalahan pengelolaan pembelajaran dari beberapa teman guru yang masih memiliki paradigma lama. Selalu menganggap lebih super daripada peserta didiknya. tak mengenal kata dialog, yang ada hanyalah monolog. Guru mengajar, murid diajar. Tak lebih dari proses kegiatan itu. Padahal, di dalam pembelajaran yang benar, guru dan murid sama-sama belajar, sama-sama melakukan proses interaksi dalam pembelajaran yang menantang. Pembelajatan yang mengundang para peserta didiknya untuk aktif  dalam memahami materi pelajaran.
Saya baca kembali tulisan pak Mochar Buchori,
Seorang guru baru dapat disebut ”guru profesional” kalau dia memiliki learning capability, yaitu kemampuan mempelajari hal-hal yang harus dipelajarinya, hal-hal yang perlu dipelajarinya, dan hal-hal yang tidak perlu dan tidak dapat dipelajarinya. Kemampuan-kemampuan tumbuh dari pengetahuan tentang dirinya sendiri, siapa dirinya sebenarnya, dan mengetahui pula pribadi-pribadi bagaimana yang tidak mungkin dicapainya. Ditirunya, ya, tetapi dicapainya (verpersoonlijkt), tidak! Singkatnya, guru profesional adalah orang yang tahu diri. Orang yang tahu diri tidak akan melakukan plagiat.
Saya mendapatkan kesan bahwa esensi profesionalitas guru ini tidak pernah dijelaskan kepada guru-guru yang ingin maju, guru-guru yang benar-benar ingin memahami tugasnya dan memperbaiki kinerjanya. Kesan saya lagi, yang ditekankan dalam usaha-usaha peningkatan kemampuan (upgrading) adalah pengetahuan tentang kementerengan guru profesional. Hal-hal yang berhubungan dengan kosmetik keguruan profesional. Guru-guru muda yang baru selesai ditatar jadi guru profesional tampak ganteng (handsome) atau cantik, tetapi tidak memancarkan kesan keprofesionalan yang mengandung wibawa.
Malu rasanya mendapatkan kritikan tajam seperti ini, tetapi ini real terjadi dalam dunia pendidikan kita. Sedikit sekali guru yang tahu diri. Guru yang senantiasa memperbaiki kinerjanya sebagai guru dengan melakukan penelitian Tindakan kelas (PTK). Berusaha memperbaikinya dengan berbagai tindakan perbaikan, yang dimulai dari sebuah perencanaan yang matang melalui RPP (Rencana pelaksanaan pembelajaran) yang dibuat sendiri, melakukan tindakan yang menantang melalui berbagai metode pembelajaran lalu mengamati prosesnya dengan melakukan kolaborasi dengan teman sejawat. Dari kolaborasi itulah guru melakukan refleksi diri dan mengatakan kepada dirinya sendiri, “benarkah apa yang telah saya lakukan?”. Bila itu terus dilakukan oleh guru, dan berujung kepada keberhasilan guru menemukan potensi unik anak didiknya, maka didapatkanlah keberhasilan guru dalam pembelajaran.
Sayangnya, masih sangat jarang guru yang melakukan PTK ini, sehingga terjadi plagiat di sana-sini. “Copas” dari satu guru ke guru lain tanpa melakukan penelitian langsung dan tak melalui proses membaca dan meneliti. Padahal proses yang benar dari sebuah penelitian adalah dimulai dari melihat, membaca, meneliti, menulis, dan melaporkan.
Sayangnya, banyak guru yang melakukan plagiarisme. Di sanalah pada akhirnya, penelitian guru yang dilakukan hanya masuk almari perpustakaan, tak berkembang dan tak tersebarluaskan karena budaya meneliti belum terjadi. Khasanah ilmu pendidikan baru seperti mati suri karena miskinnya inovasi.
Diskusi ilmiah guru masih sangat jarang dilakukan. Padahal ini adalah pintu gerbang kesuksesan guru dalam melaporkan hasil penelitiannya. Berusaha saling bersinergi antara guru satu dengan yang lainnya. Saling melengkapi dan tidak merasa bahwa pelajarannyalah yang paling penting dipelajari. Maklum pelajaranya itu selalu masuk dalam ujian nasional. Pelajaran primadona yang membuat siswa menghabiskan waktunya hanya untuk pelajaran primadona itu. Pendidikan karakter terlupakan, apalagi pendidikan kewirausahaan.
Membaca judul artikel Guru profesional dan Plagiarisme di koran kompas hari ini, membuat saya tersadarkan akan pentingnya inovasi guru di dalam pembelajaran. Melakukan penelitian di kelasnya sendiri dan melaporkannya dalam bentuk PTK. Bila itu dilakukan dengan jalan yang benar, maka tak akan mungkin plagiarsme terjadi dalam karya tulis guru. Sebab apa yang melatar belakangi penelitian dan masalah  penelitian yang dihadapinya akan terpecahkan bila guru banyak membaca. Lalu mencobanya dengan melakukan PTK.
Guru profesional memang enak terdengar di telinga, tetapi serasa berat untuk dijalankan karena beban moral yang harus dijaga. Mohon doa dari para pembaca agar saya bisa menjadi guru profesional sesuai harapan masyarakat, dan pemerintah.
Akhirnya, tak akan saya biasakan diri ini  untuk mencontek hasil karya orang lain yang bukan tulisan sendiri. Kejujuran harus senantiasa dijunjung tinggi dan menjadi panglima dalam kehidupan kita. Sejumlah prestasi guru harus diraih, kenapa guru tak memulainya dengan budaya membaca dan meneliti di sekolah-sekolah kita?  Bila itu terjadi, maka ibu pertiwipun akan tersenyum lebar menyaksikan generasi penerusnya adalah hasil didikan para guru hebat yang bermartabat.
Salam Blogger Persahabatan

0 komentar:

Posting Komentar