Jumat, 11 Februari 2011

Jangan Lagi Ada Diskriminasi Pendidikan

Jangan Lagi Ada Diskriminasi Pendidikan



Besarnya anggaran pendidikan, seharusnya bisa meningkatkan kualitas pendidikan nasional, sekaligus menghapus diskriminasi pendidikan. Asal, dikelola dan diatur secara baik dan tepat.

Saat dijajah Belanda selama hampir 3,5 abad, di masa itu strata sosial dan pendidikan diberlakukan secara diskriminatif oleh penguasa. Masyarakat terbelah menjadi tiga kelas, masyarakat Keraton, masyarakat Timur Asing (China, Arab, India), dan masyarakat biasa (rakyat jelata). Ketiga komunitas ini mendapat perlakuan berbeda dalam peran sosialnya.

Masyarakat Keraton mendapat prioritas menjadi pelaku utama (tangan kanan) di bidang pemerintahan, warga Timur Asing mendapat privilege di bidang perekonomian, sedangkan mayoritas rakyat biasa dijadikan tenaga kerja untuk kepentingan ekonomi Belanda.



Di bidang pendidikan, diskriminasi itu juga terjadi. Anak-anak dari masyarakat Keraton diberi masa pendidikan lebih lama hingga tujuh tahun. Masyarakat Timur Asing bisa mengikuti pendidikan selama empat tahun. Sementara anak-anak dari kalangan masyarakat biasa hanya diperbolehkan mengecap bangku sekolah selama dua tahun, itu pun dengan fasilitas dan pengajar yang sekadarnya.

Pendidikan yang sangat minim membuat sebagian besar rakyat pribumi makin terkungkung dalam kebodohan. “Kebodohan yang akumulatif ini membuat anak bangsa kemudian terus-menerus terpuruk dalam keterbelakangan,” ujar Among Kurnia Ebo, Pemerhati Masalah Pendidikan dan staf pengajar Kampus Gratis Isbuja (Institut Budaya Jawa) Yogyakarta.

Itu cerita lama. Bagaimana dengan kondisi sekarang? Apakah pendidikan sudah tak lagi diskriminatif? Apakah pendidikan bisa diakses dengan mudah dan murah oleh semua lapisan masyarakat? Apakah sekat-sekat yang dibangun oleh kompeni Belanda masih terlestarikan hingga kini?
Jawabannya bisa sebagian iya. Tapi Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh, buru-buru menyatakan bahwa semua warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama di bidang pendidikan. Oleh karena itu, diskriminasi pendidikan, baik menyangkut diskriminasi sosial, diskriminasi kewilayahan, maupun diskriminasi agama, harus dihapuskan, setidaknya diperkecil.

”Semua warga negara harus mempunyai akses yang sama. Tidak boleh dibedakan kaya-miskin, Jawa atau luar Jawa. Semua harus punya akses yang sama. Terserah, akses tersebut akan dimanfaatkan atau tidak,” kata Mantan Menkominfo itu. Prinsipnya, jangan sampai gara-gara tak punya uang, kemudian ada masyarakat yang tak bisa mendapat pendidikan berkualitas.

Di sisi lain, menurut Nuh, pemerintah juga harus terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan agar merata di semua wilayah Tanah Air. Peningkatan kualitas ini menyangkut sarana dan prasarana, guru, ataupun aspek pendidikan lainnya.

Untuk sarana dan prasarana, misalnya, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menargetkan, tahun 2010 sudah tak ada lagi bangunan sekolah yang rusak. Mendiknas sudah menghubungi sejumlah kepala daerah agar memprioritaskan rehabilitasi gedung sekolah.
”Soal gedung sekolah yang rusak, sudah saatnya diselesaikan. Kita tutup buku pada 2010 dan beralih kepada persoalan lain,” kata Mendiknas saat menghadiri seminar internasional pendidikan madrasah negara E-9 di Hotel Borobudur Jakarta.

Menurut Nuh, saat ini Depdiknas sedang menyusun cost structure analysis pendidikan. Berdasarkan kajian ini, anggaran pendidikan yang besarnya Rp 64 triliun bisa dioptimalkan. Selain itu, bisa diketahui, biaya pendidikan yang harus ditanggung masyarakat dan biaya yang harus ditanggung pemerintah.
Pada bagian lain Mendiknas juga menyoroti banyaknya warga negara Indonesia yang bersekolah dan bekerja di luar negeri. Menurut Menteri, hal itu tak bisa disalahkan. Mereka juga tak bisa dituding tidak nasionalis. ”Nasionalisme tidak mengenal locus,” tegasnya.

Jika mereka memberi kontribusi buat bangsa, justru itu lebih baik dibanding mereka tetap di dalam negeri, tapi malah mengeruk kekayaan negara. “Tantangannya kini, kita harus berupaya keras agar lulusan perguruan tinggi bisa bekerja sesuai dengan harapan mereka,” kata Nuh.

Sementara itu, aktivis dan praktisi pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Pendidikan menilai masalah mendasar dalam pendidikan nasional saat ini adalah kecenderungan komersialisasi yang makin menjadi-jadi.
”Pendidikan tak lagi ditempatkan sebagai hak warga negara, seperti amanat dalam konstitusi negara, tapi diposisikan sebagai hak konsumen,” kata Ade Irawan dari Koalisi Pendidikan.
Artinya, mereka yang memiliki uang akan mendapatkan pelayanan. Lebih banyak uang yang dibayarkan, akan lebih bagus lagi pelayanannya. Koalisi Pendidikan meminta Mendiknas baru jilid dua ini kembali menempatkan pendidikan sebagai barang publik yang bisa diakses oleh semua kelompok warga.
Boks
Keadilan Pendidikan
Menurut Zuber Safawi, S.HI., anggota DPR RI FPKS, sesuai UU No 20/2003, pemerintah pada 2009 ini berkomitmen merealisasikan harapan masyarakat dengan menganggarkan 20 % dana APBN untuk sektor pendidikan.
Kebijakan ini mestinya juga diikuti dengan komitmen pemerintah dalam mengayomi semua unsur pendidikan tanpa membeda-bedakan yang dapat melahirkan problem diskriminasi dalam proses pendidikan. Hal ini penting mengingat adanya heterogenitas dalam unsur-unsur pendidikan.

Sejatinya, imbuh Zuber, sikap diskriminasi yang terjadi dalam pendidikan dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa setiap orang memiliki beragam perbedaan baik dari usia, dana, dan kecerdasan. Sehingga muncul beragam kebijakan yang mengarah pada sikap pembedaan antar peserta didik, antar sekolah dan juga kurikulumnya.

Dampaknya persaingan antarsiswa, sekolah dan kurikulum kian tajam dan justru mereduksi tujuan pendidikan nasional untuk mewujudkan manusia-manusia yang humanis dan toleran. Jika diskriminasi ini berlanjut, boleh jadi kerukunan dan sikap moderat akan terkikis dengan sikap individualis, sombong dan merendahkan pihak lain.
Diskriminasi lainnya tampak dalam sikap pemerintah yang lebih memperhatikan sekolah umum (negeri) dibanding sekolah berbasis agama, seperti madrasah atau pesantren. Alokasi dana fisik dan kesejahteraan bagi guru-guru madrasah-pesantren, jarang mendapat porsi memadai. Ibarat anak tiri, madrasah dan pesantren lebih banyak mengandalkan dana swadaya guna menopang proses belajar mengajarnya.
Padahal menurut fakta sejarah, negeri ini telah dibantu oleh jasa-jasa madrasah dan pesantren yang melahirkan banyak tokoh nasional masa lalu. Seperti Jenderal Soedirman, H. Agus Salim dan lainnya. Apalagi UU No 20/2003 Sisdiknas secara jelas menyebutkan ketiadabedaan antara lembaga pendidikan agama maupun umum. “Sikap diskriminasi yang merendahkan lembaga pendidikan madrasah dan pesantren sepatutnya diakhiri,” tegas Zuber.

Sikap diskriminatif, imbuh Zuber, nampak pula dari program pemerintah yang membagi-bagi sekolah dalam kavling sekolah unggulan-biasa, favorit-nonfavorit, berstandar nasional-internasional. Meski didasari oleh niat meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, klasifikasi ini justru dapat memicu kecemburuan dan sikap intoleran anak didik.

Kecemburuan sosial dapat terjadi akibat besar besarnya anggaran dan fasilitas yang berikan. Sikap dan emosi anak didik juga akan sedikit banyak terpengaruh oleh predikat sekolahnya. Ini tentu amat sangat mudah menimbulkan gesekan antar anak didik. “Banyaknya tawuran pelajar boleh jadi dilatarbelakangi rasa egoisme predikat sekolah,” paparnya Zuber.

Boks
Jika Pendidikan Adil
Sebagai pihak yang dibebani oleh negara untuk menjamin hak-hak warga negara dalam mengenyam pendidikan, pemerintah sedianya mampu menghilangkan beragam diskriminasi dalam pelaksanaan program pendidikan di tanah air.
Jika terjadi, maka hasilnya adalah:
-       Timbul efek persaingan yang positif.
-       Merangsang stakeholder sekolah memberikan yang terbaik untuk kemajuan pendidikan di tingkatan masing-masing.
-       Semua sekolah mampu menjadi sekolah unggulan.
-       Sekolah dapat menjadi sarana efektif bagi pembentukan karakter siswa yang positif dan berbudi pekerti yang luhur.
-       Andai alokasi dana diatur secara adil, akan mampu merangsang sekolah-sekolah untuk memberikan yang terbaik kepada anak didiknya.
-       Kesejahteraan guru akan meningkat, hingga mereka mampu memberikan ilmu secara optimal kepada anak didik.

0 komentar:

Posting Komentar