Sabtu, 05 Februari 2011

Jihad Untuk Pendidikan Gratis

                                         Jihad Untuk Pendidikan Gratis

Salah satu bahaya besar yang mengancam dalam penyelenggaraan pendidikan nasional adalah masuknya hukum dagang internasional. Sangat disayangkan pendidikan harus tergiring dalam penyimpangan yang tergolong political corruption, yaitu penggunaan kekuasaan untuk keuntungan tertentu berpola komersialisasi. Hal demikian jelas terlihat karena dalam pasal 31 amandemen UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, namun kenyataannya pendidikan hanya bisa dinikmati orang bermodal.

Amandemen keempat UUD 1945 pasal 31 ayat 4 semakin menguatkan bahwa pendidikan murah harus dilakukan pemerintah dengan adanya penegasan prioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Penegasan ini juga diperkuat kembali dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Secara kultural dan institusional, amanat pendidikan murah bahkan gratis telah muncul dalam kehidupan berbangsa jauh sebelum masa kemerdekaan. Pendidikan zaman kolonial yang tidak adil dengan berbagai pemilahan dan hanya bisa diikuti kalangan pribumi tertentu telah memunculkan institusi pendidikan gratis sebagai perlawanan, seperti institusi pesantren dan madrasah yang sampai kini masih tetap berjalan dengan pasang surutnya perkembangan.

Ketidakadilan pelayanan pendidikan masa kolonial tersebut lahir melalui kategorisasi dalam tiga varian, yaitu sekolah dasar yang khusus diperuntukkan bagi masyarakat Eropa, sekolah dasar umum dan spesial untuk kaum bangsawan pribumi pada status tertentu, dan sekolah rakyat yang dapat dipilih oleh antara dua kalangan, Eropa dan pribumi. Kategorisasi demikian untuk tetap menjaga keterbelakangan bangsa Indonesia di bawah superioritas bangsa lain, sekaligus menciptakan kesenjangan yang terlalu jauh antara kalangan bangsawan dengan rakyat jelata.

Kesadaran pentingnya pendidikan murah dan persamaan hak untuk memperoleh pendidikan bagi setiap warga negara setidaknya yang mempengaruhi munculnya salah satu dasar pembentukan Negara Indonesia berupa mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Berbagai landasan yang ada dalam perjalanan negara berbangsa ternyata belum mampu mengokohkan relasi keadilan memperoleh pendidikan yang murah atau moralitas dalam konsentrasi menciptakan pendidikan dasar gratis dan ditanggung negara. Padahal langkah tersebut adalah tugas pokok penyelenggara negara yang harus melindungi, memenuhi, serta memajukan kesejahteraan rakyat melalui pendidikan yang baik dan terjangkau untuk semua.

Ketegasan konstitusi dalam upaya menyejahterakan secara khusus kemudian dijabarkan dalam rumusan pasal 34 ayat 1 UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Namun menjelang usia 65 tahun Indonesia merdeka, bangsa ini semakin tersadar betapa sulitnya menagih amanat konstitusi tersebut. Presiden pun sudah silih berganti, dan setiap pemerintahan tentu mengaku sudah membuat kebijakan dan program pengentasan kemiskinan untuk mendukung pendidikan dengan alokasi anggaran triliunan rupiah. Namun angka putus sekolah atau anak-anak yang tidak dapat merasakan pendidikan dengan baik tidak mampu terbendung untuk turun secara berarti sehingga berbagai program menjadi tidak efektif.

Di mana-mana termasuk di depan istana negara maupun di sekitar “istana” perwakilan rakyat, ada tanda-tanda kemiskinan betapa pun dinyatakan perekonomian tumbuh dengan baik. Hal demikian menjadikan akses pendidikan sebagai hal yang sangat mahal. Pembangunan sebagai emansipasi kebudayaan semakin jelas sosoknya sebagai penindas kalangan lemah. Sebagaimana lingkaran tematis Peter L. Berger dalam Pyramids of Sacrifice (1974), terdapat biaya-biaya manusiawi yang pada akhirnya menjadikan masyarakat sebagai korban fisik demi kemajuan dalam pemaksaan pembangunan.

Pengorbanan atas masyarakat lemah yang terwakili oleh kaum fakir miskin terlihat dari paradigma liberalisasi ekonomi yang menggantungkan pertumbuhan ekonomi nasional kepada tingkat konsumsi masyarakat yang setinggi-tingginya. Bahkan pemerintah pun membius rakyatnya dengan bayang imajinasi pendapatan yang lebih tinggi di masa depan daripada saat ini. Aliran berfikir demikian disokong kebijakan peningkatan utang yang pada pamitnya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan meninggalkan warisan utang sebanyak 1.588 triliun.

Utang yang selalu bertambah tersebut ternyata tidak memiliki korelasi positif terhadap penyediaan pendidikan murah, apalagi gratis. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan biaya belajar, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Jika selama ini alasan yang digunakan adalah pendidikan bermutu itu harus mahal, maka alasan tersebut hanya berlaku di Indonesia. Hal demikian karena di negara-negara maju seperti Jerman, Perancis, Belanda, dan di negara berkembang lainnya, biaya pendidikannya sangat rendah bahkan digratiskan. Tapi mengapa di Indonesia tidak?

Sangat mudah difahami bahwa pendidikan nasional sudah telanjur masuk dalam era "industrialisasi dan komersialisasi" dalam hukum dagang internasional. Tentu ada pihak-pihak yang berkepentingan dan menikmati dengan menggunakan dalih anggaran pemerintah yang tidak cukup, alasan dana besar untuk menjadi Sekolah Berstandar Internasional (SBI), atau juga perlu peningkatan fasilitas. Alasan ini umum disampaikan kalangan petinggi sekolah, kampus, bahkan pihak kementerian yang didukung pakar pendidikan yang pro pendidikan mahal sebagai bentuk diskriminasi baru neokolonial.

Dalam Islam, pembiayaan pendidikan dari setiap tingkatan sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Sebagaimana diungkapkan Abdurrahman al-Maliki dalam kitab As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla (1963), negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok masyarakat terkait pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Hal demikian mengacu pada pesan Nabi Muhammad SAW yang diperkuat oleh ijma’ para Sahabat bahwa imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya.

Perhatian yang besar atas pendidikan gratis atau murah dalam Islam ini diwujudkan dengan dibangunnya berbagai perguruan tinggi yang juga dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarananya. Setiap perguruan tinggi akan dilengkapi dengan keberadaan auditorium, asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan terdapat pula taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan bersama. Sebagai contoh, perguruan tinggi terbesar masa Islam adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad yang didirikan khalifah Al-Mustanshir, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah dan Al-Azhar di Kairo.

Struktur bangunan yang ada tersebut jelas jelas akan memiliki kesamaan dengan keberadaan pesantren sebagai institusi perlawanan kaum muslim terhadap diskriminasi pendidikan atau wujud jihad pendidikan. Jihad pada dasarnya mengandung dua muatan makna. Pertama, secara bahasa adalah kesulitan (masyaqah) sebagaimana dalam kitab Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari dan Naylul Awthar. Kedua, jihad dalam konteks hukum adalah mengerahkan segenap potensi untuk kebaikan, misalnya dengan bantuan materi, pendapat, penyediaan logistik serta model-model perlawanan terhadap hawa nafsu, eksploitasi ekonomi, diskriminasi pendidikan, dan penjajahan politik. Dengan demikian, memperjuangkan pendidikan murah atau gratis adalah bagian dari jihad agar tiada lagi diskriminasi sosial yang membedakan kelas masyarakat. Dan hal demikian harus dapat diperankan oleh civvitas perguruan tinggi untuk mengawal pendidikan gratis tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar