Kamis, 03 Maret 2011

Sexs Education atau Pornografi ????

Sexs Education atau Pornografi ????
 
Jika berbicara tentang Sexs Education atau Pornografi mungkin banyak di antara kita akan mengaitkannya sesegera mungkin dengan urusan moral, dan intinya adalah pornografi itu merusak moral. Kita malas untuk memikirkan soal epistemologi, kita tidak mau rumit berbicara soal definisi, kita tak ingin susah payah mencari kriteria-kriteria dan batasan-batasan yang mana mengandung bias atau dapat disepakati sebagai sebuah deliberasi publik. Tetapi satu-satunya deliberasi publik yang diamini secara kolektif tidak jauh berbeda dari kalimat di atas, “pornografi itu merusak moral.”


Itu adalah deliberasi kolektif bangsa Indonesia, kita kesampingkan suara-suara pinggiran yang selalu termarjinalkan oleh sebab wacana yang mereka bawa tidak dapat dicerna, di luar nalar, atau beraroma westernisasi. Mari kita anggap pornografi begitulah adanya, yakni merusak moral. Kalau ditanya moral siapa? Maka kita serentak menjawab, “Moral anak bangsa-lah.”

Seorang guru pun tidak perlu bersusah payah memberi nilai 10 atau A atau 100 di lembar jawaban untuk jawaban-jawaban semacam ini, dan pelajaran soal moralitas akan selesai sempurna, tidak perlu membuka lagi berlembar-lembar halaman untuk membahasnya. Akan tetapi para orang tua yang selalu menasehati anak-anaknya bahwa pornografi merusak moral, para guru yang selalu mewanti-wanti murid mereka agar mewaspadai dan menjauhi pornografi ternyata hanya menjadikan anak-anak sebagai objek nasehat, sebagai mahluk yang dikerangkeng agar tidak terkena marabahaya, atau sebagai mutiara yang disimpan dikotak supaya tidak bisa disentuh siapapun. Lalu bagaimana dengan diri mereka sendiri?

Apakah orang tua tidak menikmati pornografi? Mereka pun dulunya mungkin adalah anak-anak kecil yang sering dinasehati sebagaimana mereka menasehati anak-anak mereka sekarang, tetapi ketika mereka tumbuh dewasa, apakah mereka bisa berkata bahwa “pornografi itu merusak moral” bagi diri mereka sendiri? Toh mereka dulu sama seperti anak-anak mereka sekarang, mereka bagaikan emas yang disimpan di safety box dalam kubah sebuah bank, mereka mungkin termakan perkataan orang tua mereka bahwa “pornografi itu merusak moral”, tetapi bagaimana ketika saat ini mereka sendiri menikmati tayangan pornografi?

Orang dewasa dikatakan mempunyai kebebasan untuk menentukan mana yang baik dan buruk untuk diri mereka sendiri, orang dewasa sudah pintar dan bisa memilih mana yang benar dan salah, akan tetapi mengapa permasalahan moral, amoral, benar, salah, baik dan buruk, justru menghantui permasalahan-permasalahan yang diidap para manusia dewasa atau setidaknya jika tidak boleh memakai term “dewasa” bisa diganti “usia yang semakin menua”.

Sekarang kembali ke persoalan pornografi dan moral, saya akan memberikan kisah nyata sebagai ilustrasi, dan ini berkaitan pula dengan saya. Kenapa? Karena saya akui saya tidak anti dengan pornografi, dan saya pun mengonsumsi pornografi. Jika ada yang menjustifikasi saya telah mengalami kerusakan moral akibat sebuah adagium atau deliberasi publik bahwa “pornografi itu merusak moral”, maka silahkan saja. Akan tetapi saya akan menceritakan kisah ini pada anda yang merasa tidak terjangkit penyakit moral hanya karena tidak mengonsumsi pornografi.

Saya mempunyai seorang kawan, dia tidak seperti saya dalam hal pornografi ini, singkatnya dia sama sekali tidak pernah mengonsumsi pornografi, bahkan kadang saya yang menggoda dia untuk sesekali melihat pornografi. Namun dia bersikukuh tidak mau menyaksikannya, dan saya menghormati prinsip dia sehingga di lain waktu saya tidak pernah lagi menyuguhkan hal tersebut di hadapan dia. Namun ketika dia menikah, dan dia mendapatkan istri yang katanya tidak pernah mengonsumsi pornografi juga. Lalu apa yang terjadi setelah malam pertama mereka?

Keesokan harinya dia datang ke tempat saya dan mengeluhkan hal yang mungkin bagi sebagian pembaca adalah hal yang tidak perlu diceritakan, dia menceritakan pada saya tentang keadaan istri dan suasana malam pertamanya hanya dengan beberapa patah kata, “Payah, gak ada gerak, gak ada suaranya!!” begitu yang dia katakan dan ujung-ujungnya dia meminta saya mengcopy-kan data-data pornografi ke dalam USB-nya, dengan tujuan tidak lain dan tidak bukan agar dikonsumsi bersama istrinya, ditambah dengan kalimat, “biar ada suara dan geraknya.”

So what, dan akhirnya dia tidak bisa menampik bahwa dia membutuhkan pornografi, meskipun dalilnya hanya sebagai pembelajaran dalam keadaan darurat, tapi tetap saja dia perlu untuk mengonsumsi pornografi, dan saya pun memaklumi hal tersebut. Bagi saya pornografi bisa jadi kebutuhan, mungkin kalau dikatakan bahwa pornografi adalah kebutuhan berarti kita telah mendorong orang pada perbuatan dosa, karena kita membutuhkan atau mengonsumsi tayangan yang menampilkan orang-orang sedang berzinah, tetapi itulah realita, dan saya katakan di awal tadi bahwa justru permasalahan-permasalahan seputar inilah yang menghantui orang-orang “berumur semakin tua” atau dewasa seperti saya, kawan saya, ataupun para pembaca.

Jadi apa sekarang? Kita bilang kepada anak-anak kita agar menjauh dari pornografi karena pornografi itu merusak moral, sedangkan ketika nanti mereka seperti kita, mereka pun akan mengonsumsi pornografi. Memangnya bisa praktik hanya dengan “user guide” berbentuk tulisan belaka tanpa ada visualnya? Sering saya dibilangi, “kan ada petunjuk dari Nabi melalui hadis-hadis tentang bagaimana Nabi menggauli istrinya.” Tapi nyatanya kawan saya yang tadinya berkata demikian kepada saya setiap kali saya mengonsumsi pornografi, malah dia akhirnya ikut meminta “petunjuk visual”-nya pada saya.
Inilah yang terjadi dalam realita masyarakat kita, kita sudah lebih dahulu alergi dengan berpaku pada deliberasi-deliberasi atau sentimen-sentimen komunitas atau adagium-adagium yang sudah ada tanpa mau menelaah dan menyiapkan konsepsi yang sesuai dengan zaman di mana kita hidup. Coba saja, berapa banyak orang tua murid yang mencibir sekolah-sekolah yang mengenalkan tentang “sex education” dengan mengatakan bahwa dari namanya saja sudah hal yang tabu, tapi apa yang dibekali bagi si anak kelak selain, “pornografi itu merusak moral”. Padahal nantinya si anak juga mengonsumsi pornografi juga. Apakah mengonsumsi pornografi setelah menikah berarti tidak merusak moral dan sebelum menikah berarti merusak moral?

Saya pikir tidak juga, jika kita pernah praktik di pengadilan agama dan melihat pengadilan seputar perceraian rumah tangga, berapa banyak pasangan suami istri yang bercerai karena persoalan seksualitas dan pornografi, bermacam-macam kasusnya dan kadang sangat konyol dan lucu, permasalahan kecil seperti “gak ada suara, gak ada gerak” saja bisa menjadi alasan dalam perceraian, belum lagi urusan “ukuran-ukuran”, tambah geli lagi mendengarnya, demikian pula untuk persoalan yang menyangkut kasus pidana seperti pencabulan, pemerkosaan, dsb. Dan masalah-masalah tersebut yang umumnya dihadapi oleh dunia orang-orang dewasa. So, masihkah kita bicara bahwa “pornografi itu merusak moral” tanpa ada konsep pembinaan tentang seksualitas.

Konsep pembinaan tentang seksualitas? ya, mungkin bahasanya kurang tepat. Tapi saya percaya apa yang dikatakan Foucault bahwa seksualitas adalah produk normalisasi dari masa ke masa melalui untaian sejarah yang panjang dan melalui pergulatan antara pengetahuan dan kekuasaan dalam mengonstruksi seksualitas sekaligus pendisiplinan terhadap tubuh. Dalam melakukan proses normalisasi, relasi kuasa-pengetahuan ini dapat meyelenggarakan diskursus tentang tubuh dan fungsi seksualitas tubuh. Oleh karena sifatnya diskursif, jadi proses ini tidak serta merta langsung jadi dalam semalam, justru proses diskursif berarti terus berproses menjadi dan tidak pernah berhenti alias berlangsung dari masa ke masa sesuai konteks ruang dan waktunya.

0 komentar:

Posting Komentar